- Back to Home »
- SASTRA BAHASA »
- Sastra Bahasa
Posted by : Unknown
Sabtu, 06 Juli 2013
KOTA
BUYON
Oleh : Muhammad Amtsal Hilmy A. / X-1
Oleh : Muhammad Amtsal Hilmy A. / X-1
Salam hangat makhluk
permukaan,
Hi, Namaku yono,
boleh aku tau siapa namamu? Aku ingin sekali punya teman untuk bermain bersama.
Di kotaku, kota masa
depan umat manusia, ada banyak tempat bermain yang luas, di atas, maupun di
bawah air. Kamu pasti senang sekali bila berkunjung ke kotaku. Kota Buyon,
maukah kamu jadi temanku ?
Begitu bunyi surat
yang aku temukan ketika aku dan keluargaku sedang berlibur ke pantai Rambas.
Surat itu ada disebuah botol kaca yang hanyut di laut bersama dengan secarik
peta usang yang digambar dengan krayon lima ribuan buatan cina, terlihat dari
warnanya yang pudar.
Aku menunjukkan peta
itu pada orang tuaku dan saudara saudaraku, tapi tidak ada yang tau dimana kota
Buyon, yaa, seperti membiarkan bayi bermain dengan dotnya, mungkin perkataan
anak kecil memang sulit dijadikan pembicaraan serius, tapi sumpah demi jempolku
yang masiih mungil, aku serius!!..
Dengan muka serius
sedikit bingung. Yaa walaupun kakakku masih mengatakan itu wajah melas, tapi
aku berusaha layaknya shinici kuda yang sering aku pantengin di TV tetangga
tiap minggu pagi. Aku membalas pesan itu, menggulungnya dalam botol dan
melemparkannya kembali ke laut, secarik peta yang digambar dengan krayon itu
aku simpan di saku celanaku, eh, tunggu, seingatku waktu itu aku tidak memakai
celana yang ada sakunya, jadi aku selipkan di celana dalamku, yaa meskipun
sedikit geli dibagian itu
-Untuk Yono,
Namaku Hilmy, aku
tertarik dengan kota yang kamu ceritakan dalam suratmu, aku mau bermain
denganmu. Tapi tidak ada yang tahu
dimana kota Buyon, aku harus naik apa ya?
Sepulang dari pantai
, hari sudah agak malam. Sinar matahari telah telah bergantian dengan bulan
purnama malam itu. Sebelum tidur mamaku membacakan sebuah dongeng tentang negri
Antipolis atau apa lah, aku lupa , negri yang hilang dengan berjuta ilmu pengetahuan yang masih menjadi misteri
sampai abad ini kata mamaku. Seketika aku teringat dengan surat dan peta yang
aku dapat di pantai siang tadi masih setia menemani dicelana dalamku,
terimakasih,… dengan pura pura tertidur, akhirnya mamaku keluar dari kamar. Aku
mengambil peta krayon yang masih basah, aku ingin melihatnya lagi sebelum
tidur, siapa tahu bisa dapat petunjuk
dari dalam mimpi.
“Lho, kok petanya
tambah basah?”
Aku mengibas-ibas
kertas usang itu, bukannya berkurang, peta itu malah semakin basah dan semakin
banyak meneteskan air.
“Yaa ampuun!”
aku panik dan
melompat berdiri ke atas lemari. Entah bagaimana seluruh kamar tidurku sekarang
sudah tergenang air.
“Mamaaa, maa… Aduuh!”
panggilanku belum selesai ketika tiba-tiba…
BYUUUURRRR!! Ada
gelombang air besar yang menelanku dari belakang. Aku merasakan pusaran air
yang kuat menarik tubuhku makin dalam, dan dalam, dan…
“Halo, hilmy!!”
Aku membuka mataku
dengan kaget. Aku melihat hamparan air yang sangat luas nyaris tidak terlihat
batasnya. Aku sendiri sedang setengah berbaring di atas sebuah gedung besar.
Aku berharap ini gedung MPR seperti ketika jaman Reformasi. Tapi ternyata
bukan, ini hanya sebuah gedung kumuh biasa seperti gedung latar film kartun
–Hi, Arnold.
Bulan sabit
menggantung di langit yang indah penuh bintang. Biasa lah, pengisap jempol
selalu bernyanyi lagu-lagu anak TK ketika melihat bintang bertebaran di langit
lepas. Tapi ini masa kecilku, baiklah, akan aku ceritakan. aku bernyany bintang
kecil dan bla bla bla lirik konyol selanjutnya boleh kau yang melanjutkan.
Setelah mengumpulkan
nyawa aku sadar di sebelahku, ada seorang anak laki-laki berambut merah.
Wajahnya putih dan kalau aku perempuan mungkin dalam hati aku berkata “Ganteeeeng
bangeeett!” Ya biasa lah anak perempuan. Kalau di pikir pikir, Cakep cakep gini
namanya Yono? Aku memandanginya dari ujung rambut hingga ujung kaki seperti
pertama kali aku melihat jarapah di Gembira Loka. Nah, iya, aku ingat itu! Dia
bertelanjang dada dan tersenyum sangat lebar. Dan kali ini laki-laki itu
berbeda denganku. Dia bukan pengisap jempol.
“Hi, Aku Yono! Salam
kenal makhluk permukaan, kamu pasti hilmy kan? Aku sudah tak sabar ingin
bertemu denganmu kawan”
anak itu mengulurkan
tangan, dan menjabatku kuat-kuat.. kelihatan senang sekali bertemu denganku. Tapi
aku yang tidak suka dengan sebutan makhluk permukaan, setauku luas permukaan di
pelajaran Matematika itu kan datar.
“Atau jangan
jangan…??”
ujarku sambil
memandangi tubuhku untuk memastikan bahwa aku bukan makhluk datar. Yono hanya
diam memandangiku. Mungkin dalam hatinya mengatakan ada orang aneh sedang
berbaring didepannya.
“Akhirnya ada yang
mau berteman denganku! Senang sekali! Selama ini aku sendirian!” lanjut Yono.
Aku menatap sekelilingku
sekali lagi dengan heran. Hanya ada puncak gedung-gedung dan ujung atap-atap
rumah yang terlihat. Sisanya hanya hamparan air berwarna biru. Ini hampir mirip
dengan berita di TV minggu lalu, bedanya kalau di Jakarta airnya berwarnya
coklat,
“kemana yang lainnya,
Yono?” Aku bertanya penasaran. Yono memegang tanganku seperti di film sinetron
yang biasa mama liat, Waw hatiku berdebar. Tapi sayangnya dia laki-laki dan aku
laki-laki “Bisa najis tralala ini..!” ujarku dalam hati sambil tubuhku bergetar
merinding.
“Ada dibawah, ayo,
kutunjukkan sebentar..,” tiba-tiba Yono menarikku melompat dari atas gedung ke
bawah air. WIINGG! tanpa peralatan Outbound aku terjun bebas dari seperti
kodok.
BYUURR! “YONO! AKU
BELUM BISA BERENANG!” aku berteriak keras begitu tubuhku terjun dan menembus
kedalaman air di bawah. BLEEBB…BLEEBB! Untung Yono terus memegangi tanganku
hingga aku tak tenggelam.
Di bawah sana aku
terkejut melihat pemandangan dalam air yang luar biasa. Ternyata ada sebuah
kota yang sangat indah, penuh dengan gedung-gedung yang besar. Jalan-jalannya
bahkan masih dipenuhi mobil-mobil. Yono menarik lenganku untuk kembali ke atas
air sebelum kehabisan nafas.
“HUUFF! HAAAHH!! yang
tadi itu apa, Yono?” aku bertanya begitu kepalanya muncul di atas permukaan
air.
“Itu kotaku…,
dulunya,” jawab Yono pelan. “Dulu ada empat hutan besar yang mengelilingi
kotaku. Ketika empat hutan itu habis ditebangi, tiba-tiba dating sebuah
gelombang air raksasa yang membanjiri kota. Air makin lama makin naik, dan
menenggelamkan semuanya…”
Miris ketika aku
mendengar penjelasan Yono, tapi aku menutupinya. Seakan mencari topic
pembicaraan lain, aku melirik jemari yono yang ditumbuhi selaput renang halus.
“Yon.. Yono, kamu, jago sekali berenang ya? Tanyaku takut-takut.
Yono tertawa. “Iya,
kau belajar berenang di sini saja! Nanti kita bisa main petak umpet dibawah air
air! Kita bisa lomba mencari harta terpendam..,” ajak Yono antusias.
Aku mulai bisa
tersenyum agak lega sekarang. “Wah, seru dong..,” komentarku datar
“Iya, nah, sekarang
pelajaran pertama ya? Pelajaran menahan nafas!” seru Yono. Tiba-tiba melepas
pegangannya pada lenganku. Aku yang tidak siap langsung meluncur tenggelam.
“HUAA!! YONOOOO!!!
BLEEBBEB!”
* * *
Diberdayakan oleh Blogger.